PERS DI MASA
ORDE BARU
BAB
I PENDAHULUAN
LATAR
BELAKANG
Pada awal kepemimpinan orde baru
menyatakan bahwa membuang jauh praktik demokrasi terpimpin diganti dengan
demokrasi Pansasila, hal ini mendapat sambutan positif dari semua tokoh dan
kalangan, sehingga lahirlah istilah pers Pancasila. Menurut sidang pleno
ke 25 Dewan Pers bahwa Pers Pancasila adalah pers Indonesia dalam arti pers
yang orientasi, sikap, dan tingkah lakunya didasarkan pada nilai-nilai
Pancasila dan UUD 1945. Hakekat pers Pancasila adalah pers yang sehat,
pers yang bebas dan bertanggung jawab dalam menjalankan fungsinya sebagai
penyebar informasi yang benar dan objektif, penyalur aspirasi rakyat, dan
kontrol sosial yang konstruktif.
Masa kebebasan ini berlangsung
selama delapan tahun disebabkan terjadinya pristiwa malari (Lima Belas Januari
1974) sehingga pers kembali seperti zaman orde lama. Dengan peristiwa
malari beberapa surat kabar dilarang terbit termasuk Kompas. Pers pasca
peristiwa malari cenderung pers yang mewakili kepentingan penguasa, pemerintah
atau negara. Pers tidak pernah melakukan kontrol sosial disaat itu.
Pemerintah orde baru menganggap bahwa pers adalah institusi politik yang harus
diatur dan dikontrol sebagaimana organisasi masa dan partai politik.
BAB
II PEMBAHASAN
Perkembangan
Pers Pada Masa Orde Baru
Orde Baru adalah sebutan bagi
masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Orde Baru menggantikan Orde
Lama yang merujuk kepada era pemerintahan Soekarno. Orde Baru hadir dengan
semangat “koreksi total” atas penyimpangan yang dilakukan Orde Lama Soekarno.
Orde Baru berlangsung dari tahun
1966 hingga 1998. Dalam jangka waktu tersebut, ekonomi Indonesia berkembang
pesat meski hal ini dibarengi praktek korupsi yang merajalela di negara ini.
Selain itu, kesenjangan antara rakyat yang kaya dan miskin juga semakin
melebar.
Masa Jabatan Suharto Pada 1968,
MPR secara resmi melantik Soeharto untuk masa jabatan 5 tahun sebagai presiden,
dan dia kemudian dilantik kembali secara berturut-turut pada tahun 1973, 1978,
1983, 1988, 1993, dan 1998.
Pada awal kepemimpinan orde baru
menyatakan bahwa membuang jauh praktik demokrasi terpimpin diganti dengan
demokrasi Pansasila, hal ini mendapat sambutan positif dari semua tokoh dan
kalangan, sehingga lahirlah istilah pers Pancasila. Menurut sidang pleno
ke 25 Dewan Pers bahwa Pers Pancasila adalah pers Indonesia dalam arti pers
yang orientasi, sikap, dan tingkah lakunya didasarkan pada nilai-nilai
Pancasila dan UUD 1945. Hakekat pers Pancasila adalah pers yang sehat,
pers yang bebas dan bertanggung jawab dalam menjalankan fungsinya sebagai
penyebar informasi yang benar dan objektif, penyalur aspirasi rakyat, dan
kontrol sosial yang konstruktif.
Pada awal kekuasaan orde baru,
Indonesia dijanjikan akan keterbukaan serta kebebasan dalam berpendapat.
Masyarakat saat itu bersuka-cita menyambut pemerintahan Soeharto yang
diharapkan akan mengubah keterpurukan pemerintahan orde lama. Pemerintah pada
saat itu harus melakukan pemulihan di segala aspek, antara lain aspek ekonomi,
politik, social, budaya, dan psikologis rakyat. Indonesia mulai bangkit sedikit
demi sedikit, bahkan perkembangan ekonomi pun semakin pesat.Namun sangat
tragis, bagi dunia pers di Indonesia. Dunia pers yang seharusnya bersuka cita
menyambut kebebasan pada masa orde baru, malah sebaliknya. Pers mendapat
berbagai tekanan dari pemerintah. Tidak ada kebebasan dalam menerbitkan
berita-berita miring seputar pemerintah. Bila ada maka media massa tersebut
akan mendapatkan peringatan keras dari pemerintah yang tentunya akan mengancam
penerbitannya.
Pada masa orde baru, segala
penerbitan di media massa berada dalam pengawasan pemerintah yaitu melalui
departemen penerangan. Bila ingin tetap hidup, maka media massa tersebut harus
memberitakan hal-hal yang baik tentang pemerintahan orde baru. Pers seakan-akan
dijadikan alat pemerintah untuk mempertahankan kekuasaannya, sehingga pers
tidak menjalankan fungsi yang sesungguhnya yaitu sebagai pendukung dan pembela
masyarakat.
“Pada masa orde baru pers
Indonesia disebut sebagai pers pancasila. Cirinya adalah bebas dan
bertanggungjawab”. (Tebba, 2005 : 22). Namun pada kenyataannya tidak ada
kebebasan sama sekali, bahkan yang ada malah pembredelan
Tanggal 21 Juni 1994, beberapa
media massa seperti Tempo, deTIK, dan editor dicabut surat izin penerbitannya
atau dengan kata lain dibredel setelah mereka mengeluarkan laporan investigasi
tentang berbagai masalah penyelewengan oleh pejabat-pejabat Negara. Pembredelan
itu diumumkan langsung oleh Harmoko selaku menteri penerangan pada saat itu.
Meskipun pada saat itu pers benar-benar diawasi secara ketat oleh pemerintah,
namun ternyata banyak media massa yang menentang politik serta
kebijakan-kebijakan pemerintah. Dan perlawanan itu ternyata belum berakhir.
Tempo misalnya, berusaha bangkit setelah pembredelan bersama para pendukungnya
yang tentu rezim Soeharto.
Pembredelan Tempo serta
perlawanannya terhadap pemerintah Orde Baru
Pembredelan 1994 ibarat hujan,
jika bukan badai dalam ekologi politik Indonesia secara
menyeluruh. Tidak baru, tidak
aneh dan tidak istimewa jika dipahami dalam ekosistemnya. (Aliansi Jurnalis
Independen, 1995 : 140) Sebelum dibredel pada 21 Juni 2004, Tempo menjadi
majalah berita mingguan yang paling penting di Indonesia. Pemimpin Editornya
adalah Gunawan Mohammad yang merupakan seorang panyair dan intelektual yang
cukup terkemuka di Indonesia. Pada 1982 majalah Tempo pernah ditutup untuk
sementara waktu, karena berani melaporkan situasi pemilu saat itu yang ricuh.
Namun dua minggu kemudian, Tempo diizinkan kembali untuk terbit. Pemerintah
Orde Baru memang selalu was-was terhadap Tempo, sehingga majalah ini selalu
dalam pengawasan pemerintah. Majalah ini memang popular dengan independensinya
yang tinggi dan juga keberaniannya dalam mengungkap fakta di lapangan. Selain
itu kritikan- kritikan Tempo terhadap pemerintah di tuliskan dengan kata-kata
yang pedas dan bombastis. Goenawan pernah menulis di majalah Tempo, bahwa
kritik adalah bagian dari kerja jurnalisme. Motto Tempo yang terkenal adalah “
enak dibaca dan perlu”. Meskipun berani melawan pemerintah, namun tidak berarti
Tempo bebas dari tekanan. Apalagi dalam hal menerbitkan sebuah berita yang
menyangkut politik serta keburukan pemerintah, Tempo telah
mendapatkanberkali-kali maendapatkan peringatan. Hingga akhirnya Tempo harus
rela dibungkam dengan aksi pembredelan itu. Namun perjuangan Tempo tidak
berhenti sampai disana. Pembredelan bukanlah akhir dari riwayat
Tempo. Untuk tetap survive, ia
harus menggunakan trik dan startegi.Salah satu trik dan strategi yang digunakan
Tempo adalah yang pertama adalah mengganti kalimat aktif menjadi pasif dan yang
kedua adalah stategi pinjam mulut. Semua strategi itu dilakukan Tempo untuk
menjamin kelangsungannya sebagai media yang independen dan terbuka. Tekanan
yang dating bertubi-tubi dari pemerintah tidak meluluhkan semangat Tempo untuk
terus menyampaikan kebenaran kepada masyarakat.
Setelah pembredelan 21 Juni 1994,
wartawan Tempo aktif melakukan gerilya, seperti denganmendirikan Tempo Interaktif
atau mendirikan ISAI (Institut Studi Arus Informasi) pada tahun 1995.Perjuangan
ini membuktikan komitmen Tempo untuk menjunjung kebebasan pers yang
terbelengguada pada zaman Orde Baru. Kemudian Tempo terbit kembali pada tanggal
6 Oktober 1998, setelahjatuhnya Orde Baru.
Fungsi
Dewan Pers pada masa Orde Baru
Dewan pers adalah lembaga yang
menaungi pers di Indonesia. Sesuai UU Pers Nomor 40 tahun 1999, dewan pers
adalah lembaga independen yang dibentuk sebagai bagian dari upaya
untukmengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional.
Ada tujuh fungsi dewan pers yang
diamanatkan UU, diantaranya
a. Melindungi kemerdekaan pers
dari campur tangan pihak lain, bisa pemerintah dan juga masyarakat.
b. Melakukan pengkajian untuk
pengembangan kehidupan pers.
c. Menetapkan dan mengawasi
pelaksanaan kode etik jurnalistik.
d. Memberikan pertimbangan dan
mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasusyang berhubungan
dengan pemberitaan pers.
e. Mengembangkan komunikasi
antara pers, masyarakat adn pemerintah.
f. Memfasilitasi organisasi pers
dalam menyusun peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi
wartawan.
g. Mendata perusahaan pers.
Pada masa Orde baru, fungsi dewan
pers ini tidaklah efektif. Dewan pers hanyalah formalitras semata. Dewan Pers
bukannya melindungi sesama rekan jurnalisnya, malah menjadi anak buah dari
pemerintah Orde Baru. Hal itu terlihat jelas ketika pembredelan 1994, banyak
anggota dari dewan pers yang tidak menyetujui pembredelan. Termasuk juga
Gunaman Muhammad yang selaku editor Tempo juga termasuk dalam dewan pers saat
itu. Namun ironisnya, pada saat itu dewan pers diminta untuk mendukung
pembredelan tersebut. Meskipun dewan pers menolak pembredelan, tetap saja
pembredelan dilaksanakan. Menolak berarti melawan pemerintah. Berarti benar
bahwa dewan pers hanya formalitas saja.
Istilah pers digunakan dalam
konteks historis seperti pada konteks “press freedom or law” dan “power of the
press”. Sehingga dalam fungsi dan kedudukannya seperti itu, tampaknya, pers
dipandang sebagai kekuatan yang mampu mempengaruhi masyarakat secara massal. (
John C.Merrill, 1991, dalam Asep Saeful, 1999 : 26)). Seharusnya pers selain
mempengaruhi masyarakat,pers juga bisa mempengaruhi pemerintah. Karena
pengertian secara missal itu adalah seluruhlapisan masyarakat baik itu
pemerintah maupun masyarakat. Namun di Era Orde Baru, dewan persmemang gagal
meningkatkan kehidupan pers nasional, sehingga dunia pers hanya terbelenggu
olehkekuasaan oleh kekuasaan Orde Baru tanpa bisa memperjuangkan hak-haknya.
Status
TVRI Di Era Orde Baru
Tahun 1974, TVRI diubah menjadi
salah satu bagian dari organisasi dan tatakerja Departemen Penerangan, yang
diberi status Direktorat, langsung bertanggung-jawab pada Direktur Jendral
Radio, TV, dan Film Departemen Penerangan Republik Indonesia.
Sebagai alat komunikasi
Pemerintah, tugas TVRI adalah untuk menyampaikan policy Pemerintah kepada
rakyat dan pada waktu yang bersamaan menciptakan two-way traffic dari rakyat
untuk pemerintah selama tidak men-diskreditkan usaha-usaha Pemerintah.
Pada garis besarnya tujuan policy
Pemerintah dan program-programnya adalah untuk membangun bangsa dan negara
Indonesia yang modern dengan masyarakat yang aman, adil, tertib dan sejahtera,
dimana tiap warga Indonesia mengenyam kesejahteraan lahiriah dan mental
spiritual.
Semua kebijaksanaan Pemerintah
beserta programnya harus dapat diterjemahkan melalui siaran dari studio-studio
TVRI yang berkedudukan di Ibukota maupun daerah dengan cepat, tepat dan baik .
Semua pelaksanaan TVRI baik di
Ibukota maupun di Daerah harus meletakan tekanan kerjanya kepada integrasi,
supaya TVRI menjadi suatu well-integrated mass media Pemerintah.
Tahun 1975, dikeluarkan SK Menpen
No. 55 Bahan siaran/KEP/Menpen/1975, TVRI memiliki status ganda yaitu selain
sebagai Yayasan Televisi RI juga sebagai Direktorat Televisi, sedang manajemen
yang diterapkan yaitu manajemen perkantoran / birokrasi.
Kelebihan
sistem Pemerintahan Orde Baru
Perkembangan GDP per kapita
Indonesia yang pada tahun 1968 hanya AS$70 dan pada 1996 telah mencapai lebih
dari AS$1.000
Sukses transmigrasi
Sukses KB
Sukses memerangi buta huruf
Sukses swasembada pangan
Pengangguran minimum
Sukses REPELITA (Rencana
Pembangunan Lima Tahun)
Sukses Gerakan Wajib Belajar
Sukses Gerakan Nasional Orang-Tua
Asuh
Sukses keamanan dalam negeri
Investor asing mau menanamkan
modal di Indonesia
Sukses menumbuhkan rasa
nasionalisme dan cinta produk dalam negeri
Kekurangan
Sistem Pemerintahan Orde Baru
Semaraknya korupsi, kolusi,
nepotisme
Pembangunan Indonesia yang tidak
merata dan timbulnya kesenjangan pembangunan antara pusat dan daerah, sebagian
disebabkan karena kekayaan daerah sebagian besar disedot ke pusat
Munculnya rasa ketidakpuasan di
sejumlah daerah karena kesenjangan pembangunan, terutama di Aceh dan Papua
Kecemburuan antara penduduk
setempat dengan para transmigran yang memperoleh tunjangan pemerintah yang
cukup besar pada tahun-tahun pertamanya
Bertambahnya kesenjangan sosial
(perbedaan pendapatan yang tidak merata bagi si kaya dan si miskin)
Pelanggaran HAM kepada masyarakat
non pribumi (terutama masyarakat Tionghoa)
Kritik dibungkam dan oposisi
diharamkan
Kebebasan pers sangat terbatas,
diwarnai oleh banyak koran dan majalah yang dibredel
Penggunaan kekerasan untuk menciptakan
keamanan, antara lain dengan program “Penembakan Misterius”
Tidak ada rencana suksesi
(penurunan kekuasaan ke pemerintah/presiden selanjutnya)
Menurunnya kualitas birokrasi
Indonesia yang terjangkit penyakit Asal Bapak Senang, hal ini kesalahan paling
fatal Orde Baru karena tanpa birokrasi yang efektif negara pasti hancur.
Menurunnya kualitas tentara
karena level elit terlalu sibut berpolitik sehingga kurang memperhatikan
kesejahteraan anak buah.
BAB
III PENUTUP
Kesimpulan
Pers dalam masa orde baru
seakan-akan kehilangan jati dirinya sebagai media yang bebas
berpendapat dan menyampaikan
informasi. Meskipun orde baru telah menjanjikan keterbukaan dan kebebasan di
awal pemerintahannya, namun pada kenyataannya dunia pers malah terbelenggu dan mendapat
tekanan dari segala aspek. Pers pun tidak mau hanya diam dan terus mengikuti
permainan politik Orde baru. Sehingga banyak media massa yang memberontak
melalui tulisan-tulisan yang mengkritik pemerintah, bahkan banyak pula yang
membeberkan keburukan pemerintah. Itulah sebabnya pada tahun 1994 banyak media
yang dibredel, seperti Tempo, Detik, dan Monitor.
Namun majalah Tempo adalah
satu-satunya yang berjuang dan terus melawan pemerintah orde baru melalui
tulisan-tulisannya hingga sampai akhirnya bisa kembali terbit setelah jatuhnya
Orde baru. Pemerintah memang memegang kendali dalam semua aspek pada saat,
terutama dalam dunia pers.
0 komentar:
Posting Komentar